Sabtu, Juli 03, 2021

Lepas Pangkat, Bangun Jati Diri



Tubuh Hasan Munadi terbangun dari duduknya, tanpa disadari muncul potongan kayu besar cikal-bakal beduk masjid. Hal ini menginspirasi penamaan desa Nyatnyono, tempat pertapaan sekaligus mengajarkan keimanan.
Sosoknya cukup legendaris di kalangan warga Semarang. Hasan Munadi terlahir dengan nama Raden Bambang Kertonadi (BK). Meski tak banyak data yang menunjukkan catatan kuno tentang sosok BK sebagai trah Majapahit dari Prabu Brawijaya V. Bahkan versi lain menyebutkan Hasan Munadi sebagai anak dari Sunan Kalijaga.

Terkait sebagai keturunan Majapahit, BK pernah menjabat sebagai panglima prajurit yang mampu secara cepat menyelesaikan masalah penaklukan wilayah diberbagai tempat. Ia dikisahkan sebagai sosok yang sakti dan digdaya di zaman awal terbentuknya kesultanan Demak.

Selama menjadi prajurit Majapahit, BK hidup dalam kondisi lahiriah yang berkecukupan. Disisi lain, kegelisahan batin akibat kondisi rapuh batin yang rapuh terus dideritanya. Tak putus asa dengan keadaaan, sebuah jalan tengah pun diambil, beliau mengajukan pengunduran diri dari prajurit kerajaan Majapahit. BK keluar dari kadipaten Glagah Wangi menuju Gunung Suralaya. Disitulah konon BK bertapa selama 100 hari lamanya.

Upaya untuk mendapatkan petunjuk dari Sang Pencipta, rupanya tidak berjalan mulus begitu saja. Penghuni Gunung Suralaya dikenal orang-orang sakti mandraguna yang beraliran Hindu Budha, mencoba kesaktian BK. Sebut saja tokoh aliran Hindu Budha, seperti Raden Potro Kusumo, Ki Ajar Bontit, Ki Angga Wangsa, dan Ratu Kedu berhasil ditaklukan dan menjadi pengikut BK mempercayai Gusti yang Maha Tunggal.

Nama Nyatnyono terkesan asing di telinga masyarakat. Penulusuran penulis di beberapa naskah peneliti. Ada sebuah penggalan peristiwa yang menjadi dasar penamaan Nyatnyono. Saat menaiki Gunung Suralaya, BK sampai dusun Sendangan. BK bertemu dengan Ki Cogomo sesepuh daerah tersebut, menanyakan tempat pertapaan. Ki Cogomo menjawab, “Nyat ana ngger, soko kene mlaku munggah ing kono ono bebatuan kang kulina kanggo nyenyuwun marang Gusti kang akarya Loka.”

Kisah lain menyebutkan, bekas lokasi pertapaan itu kemudian muncul sebuah kayu yang berlubang yang menjadi cikal bakal bedug. Hal ini yang mendasari nama desa Nyatnyono, berasa dari paduan kata menyat (baru bangun) dan ana (tiba-tiba ada).

Kalaupun kayu untuk bedug ada, pertama kali dicari adalah tiang (soko guru). Keinginan BK membangun masjid ini disampaikan kepada para wali di Kadipaten Glagahwangi. Konon untuk kebutuhan membangun masjid, BK meminta satu tiang yang ada bakal dibangun untuk saka guru Masjid Demak. Dewan walisanga yang dipimpin oleh Sunan Ampel memerintahkan Sunan Kalijaga untuk mengantarkan satu soko guru ke kaki gunung Suralaya. Sedangkan saka guru yang kurang di Masjid Demak, oleh Sunan Kalijaga disusun dari kumpulan tatal (pecahan kayu).

Ali Murtadlo, salah satu keturunan Hasan Munadi, menceritakan kisah hidup Hasan Munadi sebagai penyebar agama Islam sampai ke pelosok Jawa Timur. Tidak hanya di Nyatnyono saja, beliau menyebarkan agama Islam sampai di Ponorogo dan Pasuruan, Jawa Timur. Nama kecil Raden Bambang Kertonadi menjadi Hasan Munadi di luar Nyatnyono.

Suatu ketika dikabarkan Hasan Munadi meninggal di Ponorogo. Kabar tersebut baru datang kepada keluarganya di Ungaran beberapa hari setelah wafatnya.“Sang anak, Raden Hasan Dipuro merasa jasad ayahnya seharusnya dimakamkan di Desa Nyatnyono, Ungaran,” kisah Ali.

Melanjutkan cerita kegelisahan Hasan Dipuro, Ali menceritakan kesaktian sang anak. Dengan kekuatan magisnya, Hasan Dipuro berhasil memindahkan tanah dan jasad ayahnya dari Ponorogo ke desa Nyatnyono. “Bapak dan anak sama-sama sakti dan ikut menyebarkan Islam di zaman itu,” tutur Ali.

Legenda Hasan Munadi semakin mencuri perhatian penulis. Saat pengunjung memasuki area makam, di sebuah kuncup makam besar, dengan melewati anak tangga menuju pintu masuk makam.


Pengunjung yang baru pertama kali berziarah mungkin bingung dengan tiga batu nisan dengan 3 kain putih penutup yang mirip satu sama lain. Yang mana makam Hasan Munadi? “Diantara tiga makam tersebut, hanya satu yang asli, yakni yang paling ujung dan searah kiblat,”
sela Ali menjawab keraguan penulis, seraya menegaskan informasi yang ia terima dari orang tuannya.

Pertanyaan yang timbul kemudian, apa maksud 2 batu nisan lain disebelah yang asli. Ali segera menjelaskan apa yang ada dari benak kami, “Iya maksud tiga nisan ini untuk membuyarkan konsentrasi musuh. Jadi lebih ke alasan politis dan keamanan keluarga saja saat itu,” tutur Ali.

Dari sini benang merah terlihat jelas bahwa daerah Gunung Suralaya merupakan gunung yang disucikan oleh penganut Hindu Budha. Catatan sejarah pernah adanya kerajaan Holing (Kalingga) berpusat di Keling, Jepara, Jawa Tengah yang bercorak Hindu-Budha pada sekitar abad ke-7. Keberadaan makam Hasan Munadi di kaki Gunung Suralaya sebagai penyiar Islam pada abad 15, menjadi fakta yang memperkuat kekayaan warisan nusantara.